11 Februari 2009

Tia dan Sony Ericsson

Edit Posted by with No comments
Ini catatan cukup lama juga. Gara-gara pas transfer data dari ponsel ke laptop beberapa waktu lalu, ternyata nemu foto-foto ini. Beberapa foto, bener-bener bikin geli. Karena usut punya usut, ada beberapa hasil jepretan Tia di sana.

Ya, waktu itu, hape ibu dan ayah ditaruh meja. Keduanya merek Sony Ericsson (wahai Sony Ericsson, baca ini, dan berbagi hape-lah dengan kami...). Nah, si Tia yang sering di-foto, diam-dia menghapal cara memotret, termasuk memotret diri sendiri.

Hasilnya? "Tia udah bisa motlet looo..." katanya sambil pamer gambar wajahnya. Hmm, iya deh...***

Ya Jalan-jalan di Magetan lah!

Edit Posted by with 1 comment
Tahun baru lalu, Tia, Ibu, Uti, and Ikung ke Magetan. Liburan gitu loh... tapi tanpa ayah. Katanya, ayah lagi sibuuuuk! Cari proyek sana-sini. Maklum, udah gak dapet gaji tetep, gak kayak dulu. Hehehe...

Biar gitu, liburan kali ini tetep seru kok. Apalagi bisa ketemu dengan saudara-saudara dari Magetan dan Jakarta. Bisa lihat Telaga Sarangan, naik kuda, ma'em sate kelinci, dan masih banyak lagi [soal Telaga Sarangan, bisa lihat di sini deh].

Nah, dari Mas Bambang, kami dapat foto-foto di Magetan ini. Lain kali, ayah wajib ikut dong. Biar makin seru. Biar ibu gak cemberut melulu... [jadi malu..]***














03 Februari 2009

Kenapa Saya tak Suka Rokok

Edit Posted by with No comments
Saya kerap terganggu jika ada orang merokok di dekat saya. Suami saya seorang perokok. Untuk itu saya memilih jauh-jauh alias tak mau dekat-dekat dengannya, saat ia tengah menikmati sebatang rokok. Malah kalau suka usil, saya sembunyikan saja rokoknya atau tak jarang diam-diam saya kurangi jumlahnya. Tapi ternyata cara ini tak juga ampuh menghilangkan, minimal mengurangi kebiasaannya untuk menghisap tembakau batangan itu.

Bukannya sok bersih atau apa, tapi saya memang benar-benar tak suka asap rokok. Menurut saya, orang merokok berarti tidak mencintai diri sendiri, orang lain dan tidak mencintai bumi. Tuhan menciptakan bumi dengan udara bersih untuk kelangsungan hidup makhluk hidup. Namun manusia merusaknya dengan asap rokok.

Egoiskah? Sudah tentu jawabannya: iya. Belum lagi sebuah survey yang menyebutkan jika pertumbuhan terbesar tahun lalu pada pengguna rokok, ternyata anak-anak di bawah umur. Lengkap sudah alasan saya untuk semakin tidak menyukai rokok.

Rokok berarti membakar uang. Rokok berarti pencemaran udara. Rokok berarti tidak menghormati hak orang lain untuk memperoleh udara bersih. Belum lagi sederet akibat negatif yang ditimbulkan rokok bagi penggunanya, yang bisa kita baca di tiap pak kemasan rokok. Meski pada akhirnya himbauan itu samasekali tak berguna bagi yang terlanjur kecanduan nikotin rokok.

Sebenarnya kalau mau disadari, mulai berhenti merokok bisa berarti pula mulai bersikap adil pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Ketika setiap orang kian gencar melakukan gerakan hijau bumi, kenapa kita tidak turut ambil bagian dengan mengawali dari hal-hal kecil yang menyangkut diri sendiri. Mengurangi rokok misalnya.

Bayangkan jika satu orang saja berani mengambil keputusan untuk mengurangi jatah satu batang rokok per hari. Berapa besar uang yang bisa dihemat. Berapa besar suplai oksigen bersih yang bisa kita selamatkan. Dan mungkin akhirnya berapa besar jumlah kematian akibat rokok yang bisa kita cegah. Jadi, marilah berhenti merokok. Demi diri kita, orang-orang di sekitar kita dan demi bumi kita.

Pelangi di Atas Air

Edit Posted by with No comments
Beberapa hari yang lalu rumah kami disambangi banjir. Siang itu hujan turun tak henti. Air mulai meninggi. Ayah dan Ibu ketar-ketir. Air merambat masuk melewati pagar rumah. Bahkan beberapa rumah tetangga mulai kebanjiran. Komplek kami saat itu sudah tergenang lebih dari mata kaki.

Maklum hujan kali ini memang begitu deras dan kurun waktunya lumayan lama. Biasanya jika hujan turun, kami dan para tetangga santai saja. Karena komplek kami memang tak pernah kebanjiran. Namun sepertinya hari itu kami harus merasakan juga ‘nikmatnya’ kebanjiran. Terutama Tia.

Ketika semua mulai panik mencoba menyelamatkan barang-barang, Tia tetap saja asyik mengamati air yang terus naik. Ibu mulai curiga karena Tia mengamati air sambil tersenyum. Air terus merambat masuk dan memenuhi teras rumah. Semakin tinggi. Langsung saja Tia berlari ke arah Ibu dan Ayah sambil bertanya, “Mbak Tia boleh berenang ya......”.

Ayah dan Ibu tak sempat melarang. Tia langsung menceburkan diri dan asyik menikmati ‘kolam renangnya’. Tia begitu senang bermain air. Bahkan dia memboyong semua mainannya untuk diikutsertakan dalam kegiatan berenangnya. Mulai dari bola plastik kecil warna-warni hingga aneka satwa kesayangannya. Binatang-binatang kecil yang selalu dibawanya ketika mandi.

Tiba-tiba saja Tia tertegun. “Yah, kok airnya ada yang warna-warni?”, tanya Tia. Ayah menghampiri dan melihat genangan air di dekat kaki Tia. “Oh, itu tandanya airnya tercampur bensin. Kayak pelangi ya. Mau buat pelangi lagi?”, tanya Ayah. Dan tak berapa lama kemudian Ayah dan Tia asyik membuat pelangi dari tetesan bensin. Tia tertawa-tawa. “Pelangi kok di atas air ya, Yah”, Tia nyeletuk. Keduanya tak menghiraukan Ibu yang terus ngomel-ngomel kerepotan akibat banjir.

Mixed Blessing (Berkah Penuh Cobaan)

Edit Posted by with No comments
Danielle Steel | PT Gramedia Pustaka Utama

Cerita ini diawali dengan pernikahan bahagia ketiga pasangan yang menjadi tokoh utama. Diana-Edward, Charlie-Barbie, dan pasangan tua Pilar dan Brad. Kehidupan di awal pernikahan benar-benar sempurna. Kehidupan yang nyaris didambakan setiap pasangan pengantin baru. Ekonomi mapan, keterikatan dan keserasian secara fisik maupun psikis yang membuat ketiganya mabuk kepayang.

Namun kebahagiaan itu ternyata berlangsung hanya sesaat. Persis ketika salah satu dari masing-masing pasangan mendambakan kehadiran seorang bayi.

Edward bahkan rela meminjam rahim seorang wanita lain demi memperoleh keturunan. Keputusan yang harus dibayar mahal, mengingat Diana telah dinyatakan steril oleh dokter. Pernikahan mereka di ambang kehancuran. Demikian pula dengan Barbie dan Charlie. Mereka benar-benar harus bercerai. Ternyata Barbie tak memliki tujuan hidup yang sejalan dengan Charlie. Hal ini membuat Charlie benar-benar terpukul. Charliepun divonis tak mampu memberikan keturunan alias mandul.

Bagaimana dengan pasangan Pilar dan Brad? Merekapun harus menjalani cobaan yang tak kalah berliku demi menemukan kebahagiaan yang mereka dambakan. Apalagi usia Pilar yang sudah tidak memungkinkan untuk menjalani proses kehamilan hingga persalinan. Mereka sempat beranggapan tak mungkin memiliki anak karena mereka terlihat lebih pantas menimang cucu.

Danielle mencoba menghadirkan dinamika kehidupan pasangan perkotaan yang modern. Yang rela melakukan apa saja untuk memperoleh kesempurnaan hidup. Ketiga pasangan digambarkan benar-benar frustasi ketika mereka mulai dihantui angan memiliki keturunan. Meski akhirnya mereka harus tetap mengalah pada takdir.

Novel ini mencoba menghadirkan beberapa pilihan dalam dunia kedokteran terutama bagi mereka yang mengalami masalah kesuburan. Ada beberapa alternatif yang coba dihadirkan Danielle agar pasangan bisa memperoleh keturunan termasuk salah satunya Vertilisasi In Vitro. Mungkin pengetahuan anda seputar kehamilan akan bertambah setelah membaca novel ini. Hanya saja beberapa alternatif jalan keluarnya mungkin tak bisa dilakukan di Indonesia.

Teka-teki yang Tak Sederhana

Edit Posted by with No comments
Gak sengaja nemu buku ini. Seperti biasa juga, jadi gak tahan buat bikin sedikit catatannya. Sekali lagi, semoga Anda berkenan.

I’ll Be Seing You (Kan Kutemui Dikau)
Mary Higgins Clark | PT Gramedia Pustaka Utama

Meghan Collins seorang reporter sebuah jaringan televisi berupaya menemukan petunjuk atas kematian seorang wanita yang mirip sekali dengan dirinya. Apakah mungkin wanita itu memiliki pertalian darah dengannya? Tak seorangpun bisa membuktikan.

Demikian pula dengan kasus kecelakaan yang diduga terjadi pada ayah Meghan, Edwin Collins. Meski demikian mayat Edwin tak pernah ditemukan. Bahkan bangkai mobilnyapun lenyap tak berbekas. Apakah mungkin sebenarnya Edwin masih hidup? Teka-teki yang mencoba dipecahkan Meghan ternyata tak sederhana.

Cerita misteri ini juga diwarnai dengan adanya tokoh Bernie Heffernan, seorang psikopat yang terobsesi pada Meghan, hingga rela melakukan apapun demi bisa selalu bersama Meghan. Sementara itu kisah cinta tak lupa juga turut diselipkan dalam kehidupan Meghan. Namun kali ini penulis mengisahkannya ‘biasa’ saja. Tak terlalu berliku meski cukup manis. Mengingat yang menjadi titik sentral cerita adalah misteri pembunuhan Edwin Collins.

Seperti pada umumnya cerita misteri, pembaca akan diajak untuk terus mengikuti alur cerita dan mungkin akan sedikit tertipu dengan beragam karakter yang dibangun penulis. Dan seperti sudah ‘digariskan’ pula pada hampir semua kisah misteri, tersangka pembunuhan ternyata adalah orang yang sangat dekat dengan tokoh cerita.

Sampai disini, I’ll Be Seing You tetap bisa menjadi salah satu cerita misteri yang layak untuk tidak dilewatkan. Apalagi jika anda menginginkan kisah yang tidak terlalu rumit dan tidak memerlukan banyak energi untuk mengikuti alur cerita. Andapun tak perlu terlalu mengerutkan kening dan berpikir keras untuk mencerna kisahnya. Baca saja dan bersiap untuk menanti kejutan-kejutan kecilnya.

Surat Cintanya Tia

Edit Posted by with No comments
Suatu sore Tia duduk di pojok teras. Sendiri. Memegang sebuah amplop surat. Lantas tak berapa lama Tia mulai merobek surat itu dan mengambil isinya. Selembar kertas putih surat rekening tagihan telepon. Tia mengamati dengan seksama deretan huruf dan angka yang tertera.

Keningnya berkerut. Matanya menatap serius. Lalu lembar putih itu dibolak-balik. Dilipat lagi. Dibalik lagi. Tia menggeser letak duduknya. Mencari posisi paling tepat untuk mulai membaca. Sementara Ibu tengah menyiram bunga sambil sesekali melirik ke arah Tia. Tia melirik ke arah Ibu. Serius. Tajam. Dan Tia pun mulai membaca.

“Aku cinta kepadamu”.

Kontan Ibu hampir tertawa. Namun Ibu mencoba menahan keinginan tawanya dan pura-pura mengalihkan pandangan agar Tia tidak tergangggu. Dan benar saja. Melihat Ibu cuek, Tiapun melanjutkan aksi membaca ‘surat cintanya’.

“Aku cinta kepadamu. Tapi kamu tidak cinta kepadaku”. Tia melirik Ibu lagi.
“Males ah. Bacanya udah aja”

“Kok udahan bacanya,” tanya Ibu
“Iya. Suratnya aneh”.

“Knapa?”
“Nggak ada fotonya Farhan”

“Farhan temannya mbak Tia itu?”
“Ya iyalah..”

“Memangnya cinta itu apa sih. Ibu kok nggak ngerti ya. Mbak Tia ngerti nggak?”
“Cinta itu pacaran. Mbak Tia sekarang kalo di sekolah pacarnya Farhan. Nanti kalo Ibu kesekolahnya Mbak Tia, tak kasih tau yang namanya Farhan ya. Ibu mau nggak?”

“Iya deh. Nanti Ibu kenalin ya ”
“Iya. Tapi Ibu nggak boleh pacaran sama Farhan ya...”
Tiapun ngeloyor pergi sambil membawa ‘surat cintanya’. Dan tak berapa lama dari dalam rumah terdengar suara, “Aku cinta kepadamu”.

Sekali Lagi, Edensor

Edit Posted by with No comments
Sorry, memang telat kalau bikin resensi buku ini. Tapi nggak tahu kenapa, pingin banget nulis soal Edensor. Semoga berkenan.

Judul Buku : Edensor

Andrea Hirata | PT. Bentang Pustaka


Sebuah novel lanjutan dari tetralogi laskar pelangi. Setelah buku pertama dan kedua, Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi, Andrea melanjutkan kisah hidupnya di negeri impian. Setelah berhasil memperoleh beasiswa ke Uni Eropa, Ikal akhirnya berhasil menemukan keindahan alam khalayan Edensor. “Jalan-jalan desa menanjak berliku-liku, dihiasi deretan pohon oak, berselang-seling diantara jerejak anggur yang ditelantarkan..

Potongan novel Herriot peninggalan A Ling, kekasih masa kecil, menjadi pembuka jalan dalam penaklukan mimpi-mimpi Ikal. Seolah terinspirasi, Ikal dan sang simpai keramat, Arai, memutuskan menempuh perjalanan panjang selama liburan musim panas, untuk merasakan sari pati hidup. Mereka menjelajahi Eropa hingga Afrika. Bermodal penampilan ala ikan duyung, Ikal dan Arai harus bertahan hidup dengan berperan sebagai seniman jalanan. Berlibur irit ala backpacker. Benar-benar mengandalkan nasib dan keberuntungan.

Begitu banyak potongan mossaik menakjubkan yang disuguhkan dalam petualangan kali ini. Namun rasanya ada pula potongan yang terlalu menakjubkan (baca:mustahil) yang digambarkan Andrea. Misalnya pertemanannya dengan supermodel elit Famke Somers, yang berujung pada pertemuannya dengan supermodel Bohemian, Daria Werbowy. Selain itu pertemuannya dengan Andrea Galliano, wanita yang menginspirasi Ikal untuk berganti nama dengan mengambil nama depan Andrea. Padahal sudah puluhan tahun berlalu. Wanita ini pernah diberitakan media, mengancam akan terjun dari tiang telepon, jika Elvis Presley tak membalas suratnya. Terpisah rentang jarak dan waktu yang begitu jauh dan begitu lama.

Namun “kealpaan” kecil ini menjadi tak berarti, jika anda telah membaca buku pertama dan kedua. Karena anda pasti akan sangat menantikan bagaimana kisah hidup Ikal selanjutnya. Dan novel ketiga ini rasanya cukup untuk mengobati kerinduan itu. Paling tidak, Ikal digambarkan mulai mengenal kehidupan yang lebih baik, dibandingkan dengan segala keterbatasan yang dikisahkan pada dua buku sebelumnya. Namun tentu saja tetap dengan kesahajaan dan kesederhanaan yang seolah menjadi benang merah tetralogi Laskar Pelangi.

Di sisi lain, Andrea memang seniman yang begitu cerdas memilih kata dan merangkainya menjadi satu kalimat yang luar biasa namun tetap jenaka. Terutama dalam moment-moment pencarian A Ling. Sehingga tak perlu waktu panjang untuk mencernanya. Dengan kata lain, buku ini lebih ringan untuk dinikmati ketimbang buku pertama, Laskar Pelangi, yang sarat dengan bahasan ilmiah. Jadi nikmati saja alur ceritanya.

Memorabilia

Edit Posted by with No comments
Aku ingin pulang. Aku ingin melihat lagi rumah kayu tua itu. Rumah kayu berdinding bambu yang hingga kini tak pernah lekang digerus waktu. Betapa rumah itu telah memberi begitu banyak warna indah, pada tiap lapis masa kecil kami. Aku, adikku serta kakak sepupu kami. Bertiga kami melewati masa-masa indah di sana. Seandainya tiap lapis kenangan itupun dikupas dan dibuang, maka ingatan akan masa kecil di rumah kayu takkan pernah habis. Seperti udara yang terus mengisi rongga paru kami.

Seperti sebuah permen manis yang tak akan pernah habis rasa manisnya meski terus menerus dihisap. Seperti sebuah batu berkilau yang akan tersimpan dalam ceruk masa lalu kami yang permanen. Untuk kemudian seiring dengan berlalunya waktu, batu itu akan terus kami asah hingga menjadi berlian yang makin berkilau dan terus bersinar dalam hidup kami. Masa kecil di rumah kayu seperti titik tumpu dalam timbangan kehidupan kami. Yang membawa kami pada satu titik keseimbangan kala kami merasa goyah. Kadang saat penat, rumah kayu dan segala kenangannya seolah mampu menghadirkan kembali kesejukan dan energi baru dalam hidup kami.

Aku tak akan pernah lupa, ketika pagi mulai menyapa dan sinar matahari masuk melalui celah-celah dinding bambu, maka itu berarti kami akan memulai hari yang menyenangkan. Menemukan telur-telur ayam dalam kuali (sejenis periuk dari tanah liat), menertawakan katak yang terperangkap dalam lumpang batu di belakang rumah, hingga bermain di sungai.

Aku juga suka sekali mengamati asap yang membumbung dari tungku batu di dapur saat nenek memasak. Asap itu akan terus terbang melesat ke atas, lurus menerobos genteng kaca dapur tepat di atas tungku. Putih dan sesekali ditingkah titik-titik biru dan merah. Seumpama jalan sutra yang menuju ke arah langit. Jauh.....jauh sekali hingga tak jelas lagi ujungnya.

Tak hanya itu. Jika tiba musim bertelur bagi ayam-ayam, maka kakek dengan sabar akan mempersiapkan kuali yang telah dialasi kain-kain perca untuk tempat ayam mengerami telur-telurnya. Kakek juga begitu telaten membersihkan kandang, memandikan ayam-ayam hingga menggiring mereka masuk kandang kembali kala petang menjelang.

Jika malam tiba, kakek akan bersantai sambil mendengarkan radio transistor. Tak lupa dengan balutan jaket hijau tua ala tentara, yang sudah mulai pudar warnanya dan lepas satu kancingnya. Kakek sering bercerita jika jaket itu telah menemani perjalanan kakek selama masa perjuangan. Sepanjang malam radio itu akan terus didekap kakek sambil dielus hingga terkantuk-kantuk. Kakek dan jaket tuanya serta radio yang tak jelas lagi suaranya.

Pemandangan malam yang tak mungkin hilang terlindas waktu. Dan belum lagi setengah perjalanan acara siaran, Kakek selalu tertidur. Begitu pulas. Sementara radio tuanya masih saja mengumandangkan kemerasak siaran pedesaan RRI. Nafasnya naik turun. Pelan dan berat. Semakin lama semakin panjang. Nafas Kakek beradu dengan suara radio. Memecah sunyi membelah dingin. Membelah pekat malam.

mitha laksono