12 Oktober 2008

Ayam Kriuk-Kriuk

Edit Posted by with No comments
Menjelang Lebaran, Tia, Ayah dan Ibu berjalan-jalan ke sebuah pusat pertokoan. Saat itu mall penuh sesak pengunjung. Tia mulai gerah dan segera ingin marah-marah. Untung ada ketupat raksasa menggantung di langit-langit mall. Perhatian Tiapun teralih.

Kenapa kok ketupatnya besar sekali?
Iya, itu kan cuma mainan. Gak ada isinya. Jadi bisa dibikin besar dan digantung diatas.

Kenapa kok gak ada ayamnya?
Memangnya mbak tia tahu darimana kalo ketupat dimakan sama ayam (opor)

Lihat di tivi. Mana ayamnya?
Ayamnya gak ada. Nanti kalo diikat di atas pasti kabur. Lagian mbak Tia gak boleh banyak-banyak makan ayam. Ayam melulu

Kenapa? Nanti mbak Tia jadi ayam ya?
Iya. Nanti mbak Tia jadi temannya ayam.Mau?

Gak. Gak mau. Berarti nanti mbak Tia ada ekornya kayak ayam?
Iya. Lha itu sudah kelihatan ekornya sedikit. Hayooo. Nanti jadi ayam lo

Mbak Tia gak mau jadi ayam. Tapi mbak Tia mau makan ayam aja. Ayam kriuk-kriuk
Jadi gak beli baju nih....Makan ayam aja....Mbak Tia gak mau baju baru ?

Gak usah. Mbak Tia mau makan ayam aja. Nanti duitnya ayah habis buat beli baju
Tak berapa lama kemudian Tia pun asyik melahap ayam kriuk-kriuk. Tak peduli dengan hingar-bingar dan kesibukan pengunjung mall. Tak peduli dengan harga-harga kebutuhan lebaran yang terus melambung naik. Tak peduli dengan orang-orang yang sibuk beli ini itu, mondar-mandir sana sini, hitung duit tebar duit. Tia tetap asyik makan ayam........

Ijo-ijo.......Sambal Ijo

Edit Posted by with 1 comment
Melintasi jalan raya nginden tepatnya di sekitar Kebon Bibit, rasanya saya tak bisa jika harus lewat begitu saja. Serasa ada kekuatan yang begitu besar menarik saya untuk sekedar singgah atau bahkan berlama-lama menikmati waktu di sana.

Pemandangan yang disuguhkan begitu menarik mata dan pikiran saya. Setelah mata saya dibuat segar oleh ijonya pepohonan Kebon Bibit, maka giliran otak saya yang langsung bergerak memutar rekaman nikmatnya sambal ijo. Kontan saja, perut pasti akan menjerit minta diisi.

Betapa tidak, deretan lauk berjajar menggoda tampil di balik kaca. Mulai dari rendang daging, kepala kakap, udang balado, aneka ayam dengan berbagai variasi bumbu, hingga rempeyek udang besar yang begitu kriuk-kriuk. Mmmmmm. Benar-benar nikmat. Apalagi jika ditambah dengan beragam kuah yang berbumbu spicy plus sambal ijo. Untuk yang terakhir ini memang yang paling ampuh merobohkan benteng kemampuan saya untuk menahan rasa lapar. Apapun lauknya asalkan ada sambal ijo, saya pasti gelap mata. Masakan padang memang favorit saya nomor satu. Bahkan boleh dibilang maniak.

Betapa tidak, saya serasa tak pernah bosan dengan menu yang satu ini. Kalau sudah menghadapi sepiring nasi padang dengan rendang daging plus sambal ijonya, apalagi ditambah rempeyek udang, saya tak peduli apapun. Bahkan dulu, semasa hamil, hampir tiap hari saya merindukan masakan padang. Untung saja, saya tidak mengalami masalah pencernaan akibat ngidam makanan yang satu ini.

Saya jadi ingat moment perkenalan dengan masakan padang. Dulu, menurut saya, masakan padang termasuk kategori makanan menjijikkan. Apalagi jika melihat paru goreng yang bentuknya aneh. Warna serta strukturnya sama sekali tak menarik bagi saya. Belum lagi gundukan daun singkong serta sayur nangka yang seperti tumpukan sampah. Setelah itu disiram dengan aneka saus berwarna warni, yang langsung membuat saya kehilangan selera.

Saat itu saya langsung menyetujui perkataan mertua yang melarang untuk membeli masakan padang. Masakan padang itu bukan makanan sehat, begitu katanya. Alias makanan yang kerapkali didaur ulang. Kalau tidak habis bisa dipajang lagi buat beberapa hari ke depan. Masakan jadul. Jaman dulu. Yang terus menerus dipanasi untuk di makan lagi hari ini. Kedengaran terlalu ekstrem memang. Tapi itulah cara pandang saya dulu pada masakan padang. Namun setelah dipaksa oleh seorang teman untuk mencicipi sedikit saja rasa sambal ijo, saya langsung ketagihan.

Asam, pedas, nikmat. Selanjutnya, satu demi satu saya mencoba mencicipi beragam lauk yang ditawarkan. Dan pilihanpun jatuh pada rendang daging favorit saya. Meski teksturnya padat, namun dagingnya begitu empuk dan bumbunya terasa sekali meresap ke dalam tiap serat daging.

Selain sambal ijonya, hal lain yang membuat saya menyukai masakan padang adalah citarasanya yang hampir sama di berbagai daerah. Mau dimanapun, masakan padang tetap saja enak buat saya. Kalau saya bepergian ke luar kota, paling aman menurut saya adalah makan masakan padang. Pasti ditanggung puas. Kalau menu masakan lain, saya tidak menjamin. Pernah saya pergi ke Yogya dan tiba-tiba ingin mencoba memesan sepiring nasi rawon. Rasanya begitu aneh. Begitu juga dengan rujak cingur, nasi goreng, gado-gado, bahkan sampai nasi pecel.

Menurut saya, selain di kota Surabaya, tak ada tempat lain yang mampu menyajikan rasa yang nikmat dengan komposisi bumbu yang pas. Namun tidak dengan masakan padang. Mau makan di Yogya, Bali atau dimanapun, rasanya tetap aman. Itulah kenapa saya begitu menggilai makanan yang satu ini. Saya tak peduli lagi dengan perkataan apapun tentang masakan padang. Yang penting nikmat makan sambal ijo. Tomat ijo, cabe ijo....ijo-ijo sambal ijo..........

07 Oktober 2008

Babu Dolly

Edit Posted by with 1 comment
Membaca novel Laskar Pelangi memang membuat banyak orang terkagum-kagum termasuk saya. Saya tak ingin menceritakan panjang lebar dari segi mana kekaguman saya. Hanya saja perjuangan anak-anak Belitong, mengingatkan saya pada teman masa kecil yang kini entah berada di mana.

Kabar terakhir yang saya dengar, dia telah menikah dengan seorang pengusaha non pribumi kaya dan pindah ke kota lain. Saya sempat turut bahagia demi mendengar kabar yang hanya sekedar angin lewat itu. Betapa tidak, bagi saya, hal itu adalah sebuah harga pantas yang memang harus dia terima atas ‘perjuangan’ yang selama ini dia lakukan. A’an namanya. Dia hanya anak seorang buruh cuci pakaian. Bukan pakaian sembarangan. Melainkan pakaian mbak-mbak cantik penghuni sekaligus penghias ‘akuarium raksasa’.

Paling tidak itulah gambaran yang terekam dalam benak saya saat itu, saat duduk di bangku sekolah dasar, duapuluh tahun yang lalu. Akuarium adalah sebutan kami untuk rumah-rumah bordil atau wisma-wisma yang berada di gang Dolly. Rumah-rumah berkaca besar yang menampilkan pemandangan deretan wanita cantik duduk manis di sofa panjang, dengan diterangi cahaya lampu merah. Persis dalam akuarium. Deretan wisma itu seolah menjadi saksi bisu yang selalu menanti kehadiran A’an setiap pagi.

Sambil memanggul keranjang cucian, sebelum berangkat sekolah, A’an mulai memasuki satu persatu wisma. Keranjang plastik itu menurut saya terlalu besar dan berat untuk tubuh kecil A’an, apalagi ditambah pakaian yang isinya selalu nyaris penuh. Sembari memberikan pakaian kepada si empunya, A’an sekali-kali melirik ke arah jam dinding. Seolah berlomba dengan waktu, A’an selalu mencoba untuk menunaikan tugas sebaik-baiknya dengan selekas-lekasnya. Menyerahkan pakaian, menerima kembali pakaian kotor, dan tak lupa memungut lembaran-lembaran rupiah dari si mbak.

Terkadang mereka tak segan memberi A’an upah lebih sekedar ongkos kirim pakaian. Mbak-mbak itu memang tak pernah tahu bagaimana A’an harus bangun pagi-pagi buta, lantas menimba air dari sumur dan membantu Ibunya membilas pakaian. Ibu A’an selalu menyelesaikan tugasnya sebelum subuh. Sehingga jika adzan subuh terdengar, itu berarti A’an harus bergegas bangun dan membantu Ibunya melanjutkan mencuci pakaian.

Ketika anak-anak lain masih bergelut dengan selimut, A’an kecil sudah harus berkecipak dengan air membilas pakaian mini milik si mbak. Untung ukuran pakaian itu kecil-kecil. Hingga A’an tidak perlu terlalu berat mengangkat dan memeras pakaian. Sementara A’an membilas pakaian, si Ibu menyetrika pakaian yang harus dibawa A’an untuk diantar pagi itu. Bukan pekerjaan yang ringan untuk anak usia 8 tahun. Pekerjaan ini memang cukup melelahkan bagi A’an, hingga pernah suatu kali saya melihat A’an tertidur di kelas dengan nyenyak. Bahkan ketika kami harus berpegangan tangan ketika bermain ular naga, saya bisa merasakan permukaan tangannya yang begitu kasar. Seolah meraba permukaan daun kering yang sudah jatuh ke tanah. Bergaris-garis cukup dalam akibat mengangkut keranjang pakaian yang berat. Dari rumah ke sekolah, berkeliling ke tiap wisma, hingga kembali lagi ke rumah pada siang harinya.

Awalnya A’an terlihat malu membawa keranjang berisi pakaian kotor ke sekolah, hingga ia harus menitipkannya di pojok kantin penjual makanan. Namun hanya dalam waktu sepekan, A’an mulai tak jengah melihat reaksi teman-teman yang sempat mengejek dan menyebutnya ‘Babu Dolly’. Mungkin karena kebesaran hatinya atau mungkin juga karena tuntutan hidup. Jika malu membawa pakaian si mbak, maka Ibu tak bisa masak.

Jika Ibu tak masak maka perut pasti berontak. Tak ada beras yang bisa di tanak atau bahkan lauk makan yang enak. Maka A’anpun maju terus pantang mundur. Tak pernah menyerah. Saya baru benar-benar mengagumi dan menyadari perjuangan A’an kecil. A’an memang seperti anak-anak Laskar Pelangi yang berjuang demi sekedar bisa bersekolah. Mereka sama-sama harus menempuh ‘medan terjal’, meski dalam arti yang berbeda.

mitha laksono