Membaca novel Laskar Pelangi memang membuat banyak orang terkagum-kagum termasuk saya. Saya tak ingin menceritakan panjang lebar dari segi mana kekaguman saya. Hanya saja perjuangan anak-anak Belitong, mengingatkan saya pada teman masa kecil yang kini entah berada di mana.
Kabar terakhir yang saya dengar, dia telah menikah dengan seorang pengusaha non pribumi kaya dan pindah ke kota lain. Saya sempat turut bahagia demi mendengar kabar yang hanya sekedar angin lewat itu. Betapa tidak, bagi saya, hal itu adalah sebuah harga pantas yang memang harus dia terima atas ‘perjuangan’ yang selama ini dia lakukan. A’an namanya. Dia hanya anak seorang buruh cuci pakaian. Bukan pakaian sembarangan. Melainkan pakaian mbak-mbak cantik penghuni sekaligus penghias ‘akuarium raksasa’.
Paling tidak itulah gambaran yang terekam dalam benak saya saat itu, saat duduk di bangku sekolah dasar, duapuluh tahun yang lalu. Akuarium adalah sebutan kami untuk rumah-rumah bordil atau wisma-wisma yang berada di gang Dolly. Rumah-rumah berkaca besar yang menampilkan pemandangan deretan wanita cantik duduk manis di sofa panjang, dengan diterangi cahaya lampu merah. Persis dalam akuarium. Deretan wisma itu seolah menjadi saksi bisu yang selalu menanti kehadiran A’an setiap pagi.
Sambil memanggul keranjang cucian, sebelum berangkat sekolah, A’an mulai memasuki satu persatu wisma. Keranjang plastik itu menurut saya terlalu besar dan berat untuk tubuh kecil A’an, apalagi ditambah pakaian yang isinya selalu nyaris penuh. Sembari memberikan pakaian kepada si empunya, A’an sekali-kali melirik ke arah jam dinding. Seolah berlomba dengan waktu, A’an selalu mencoba untuk menunaikan tugas sebaik-baiknya dengan selekas-lekasnya. Menyerahkan pakaian, menerima kembali pakaian kotor, dan tak lupa memungut lembaran-lembaran rupiah dari si mbak.
Terkadang mereka tak segan memberi A’an upah lebih sekedar ongkos kirim pakaian. Mbak-mbak itu memang tak pernah tahu bagaimana A’an harus bangun pagi-pagi buta, lantas menimba air dari sumur dan membantu Ibunya membilas pakaian. Ibu A’an selalu menyelesaikan tugasnya sebelum subuh. Sehingga jika adzan subuh terdengar, itu berarti A’an harus bergegas bangun dan membantu Ibunya melanjutkan mencuci pakaian.
Ketika anak-anak lain masih bergelut dengan selimut, A’an kecil sudah harus berkecipak dengan air membilas pakaian mini milik si mbak. Untung ukuran pakaian itu kecil-kecil. Hingga A’an tidak perlu terlalu berat mengangkat dan memeras pakaian. Sementara A’an membilas pakaian, si Ibu menyetrika pakaian yang harus dibawa A’an untuk diantar pagi itu. Bukan pekerjaan yang ringan untuk anak usia 8 tahun. Pekerjaan ini memang cukup melelahkan bagi A’an, hingga pernah suatu kali saya melihat A’an tertidur di kelas dengan nyenyak. Bahkan ketika kami harus berpegangan tangan ketika bermain ular naga, saya bisa merasakan permukaan tangannya yang begitu kasar. Seolah meraba permukaan daun kering yang sudah jatuh ke tanah. Bergaris-garis cukup dalam akibat mengangkut keranjang pakaian yang berat. Dari rumah ke sekolah, berkeliling ke tiap wisma, hingga kembali lagi ke rumah pada siang harinya.
Awalnya A’an terlihat malu membawa keranjang berisi pakaian kotor ke sekolah, hingga ia harus menitipkannya di pojok kantin penjual makanan. Namun hanya dalam waktu sepekan, A’an mulai tak jengah melihat reaksi teman-teman yang sempat mengejek dan menyebutnya ‘Babu Dolly’. Mungkin karena kebesaran hatinya atau mungkin juga karena tuntutan hidup. Jika malu membawa pakaian si mbak, maka Ibu tak bisa masak.
Jika Ibu tak masak maka perut pasti berontak. Tak ada beras yang bisa di tanak atau bahkan lauk makan yang enak. Maka A’anpun maju terus pantang mundur. Tak pernah menyerah. Saya baru benar-benar mengagumi dan menyadari perjuangan A’an kecil. A’an memang seperti anak-anak Laskar Pelangi yang berjuang demi sekedar bisa bersekolah. Mereka sama-sama harus menempuh ‘medan terjal’, meski dalam arti yang berbeda.
mitha laksono
07 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
mith gimana kalo kamu tulis dan dibuat pelemnya..
judulnya dah kontroversial loh
Posting Komentar