Sorry, memang telat kalau bikin resensi buku ini. Tapi nggak tahu kenapa, pingin banget nulis soal Edensor. Semoga berkenan.
Judul Buku : Edensor
Andrea Hirata | PT. Bentang Pustaka
Sebuah novel lanjutan dari tetralogi laskar pelangi. Setelah buku pertama dan kedua, Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi, Andrea melanjutkan kisah hidupnya di negeri impian. Setelah berhasil memperoleh beasiswa ke Uni Eropa, Ikal akhirnya berhasil menemukan keindahan alam khalayan Edensor. “Jalan-jalan desa menanjak berliku-liku, dihiasi deretan pohon oak, berselang-seling diantara jerejak anggur yang ditelantarkan..
Potongan novel Herriot peninggalan A Ling, kekasih masa kecil, menjadi pembuka jalan dalam penaklukan mimpi-mimpi Ikal. Seolah terinspirasi, Ikal dan sang simpai keramat, Arai, memutuskan menempuh perjalanan panjang selama liburan musim panas, untuk merasakan sari pati hidup. Mereka menjelajahi Eropa hingga Afrika. Bermodal penampilan ala ikan duyung, Ikal dan Arai harus bertahan hidup dengan berperan sebagai seniman jalanan. Berlibur irit ala backpacker. Benar-benar mengandalkan nasib dan keberuntungan.
Begitu banyak potongan mossaik menakjubkan yang disuguhkan dalam petualangan kali ini. Namun rasanya ada pula potongan yang terlalu menakjubkan (baca:mustahil) yang digambarkan Andrea. Misalnya pertemanannya dengan supermodel elit Famke Somers, yang berujung pada pertemuannya dengan supermodel Bohemian, Daria Werbowy. Selain itu pertemuannya dengan Andrea Galliano, wanita yang menginspirasi Ikal untuk berganti nama dengan mengambil nama depan Andrea. Padahal sudah puluhan tahun berlalu. Wanita ini pernah diberitakan media, mengancam akan terjun dari tiang telepon, jika Elvis Presley tak membalas suratnya. Terpisah rentang jarak dan waktu yang begitu jauh dan begitu lama.
Namun “kealpaan” kecil ini menjadi tak berarti, jika anda telah membaca buku pertama dan kedua. Karena anda pasti akan sangat menantikan bagaimana kisah hidup Ikal selanjutnya. Dan novel ketiga ini rasanya cukup untuk mengobati kerinduan itu. Paling tidak, Ikal digambarkan mulai mengenal kehidupan yang lebih baik, dibandingkan dengan segala keterbatasan yang dikisahkan pada dua buku sebelumnya. Namun tentu saja tetap dengan kesahajaan dan kesederhanaan yang seolah menjadi benang merah tetralogi Laskar Pelangi.
Di sisi lain, Andrea memang seniman yang begitu cerdas memilih kata dan merangkainya menjadi satu kalimat yang luar biasa namun tetap jenaka. Terutama dalam moment-moment pencarian A Ling. Sehingga tak perlu waktu panjang untuk mencernanya. Dengan kata lain, buku ini lebih ringan untuk dinikmati ketimbang buku pertama, Laskar Pelangi, yang sarat dengan bahasan ilmiah. Jadi nikmati saja alur ceritanya.
03 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar