Melintasi jalan raya nginden tepatnya di sekitar Kebon Bibit, rasanya saya tak bisa jika harus lewat begitu saja. Serasa ada kekuatan yang begitu besar menarik saya untuk sekedar singgah atau bahkan berlama-lama menikmati waktu di sana.
Pemandangan yang disuguhkan begitu menarik mata dan pikiran saya. Setelah mata saya dibuat segar oleh ijonya pepohonan Kebon Bibit, maka giliran otak saya yang langsung bergerak memutar rekaman nikmatnya sambal ijo. Kontan saja, perut pasti akan menjerit minta diisi.
Betapa tidak, deretan lauk berjajar menggoda tampil di balik kaca. Mulai dari rendang daging, kepala kakap, udang balado, aneka ayam dengan berbagai variasi bumbu, hingga rempeyek udang besar yang begitu kriuk-kriuk. Mmmmmm. Benar-benar nikmat. Apalagi jika ditambah dengan beragam kuah yang berbumbu spicy plus sambal ijo. Untuk yang terakhir ini memang yang paling ampuh merobohkan benteng kemampuan saya untuk menahan rasa lapar. Apapun lauknya asalkan ada sambal ijo, saya pasti gelap mata. Masakan padang memang favorit saya nomor satu. Bahkan boleh dibilang maniak.
Betapa tidak, saya serasa tak pernah bosan dengan menu yang satu ini. Kalau sudah menghadapi sepiring nasi padang dengan rendang daging plus sambal ijonya, apalagi ditambah rempeyek udang, saya tak peduli apapun. Bahkan dulu, semasa hamil, hampir tiap hari saya merindukan masakan padang. Untung saja, saya tidak mengalami masalah pencernaan akibat ngidam makanan yang satu ini.
Saya jadi ingat moment perkenalan dengan masakan padang. Dulu, menurut saya, masakan padang termasuk kategori makanan menjijikkan. Apalagi jika melihat paru goreng yang bentuknya aneh. Warna serta strukturnya sama sekali tak menarik bagi saya. Belum lagi gundukan daun singkong serta sayur nangka yang seperti tumpukan sampah. Setelah itu disiram dengan aneka saus berwarna warni, yang langsung membuat saya kehilangan selera.
Saat itu saya langsung menyetujui perkataan mertua yang melarang untuk membeli masakan padang. Masakan padang itu bukan makanan sehat, begitu katanya. Alias makanan yang kerapkali didaur ulang. Kalau tidak habis bisa dipajang lagi buat beberapa hari ke depan. Masakan jadul. Jaman dulu. Yang terus menerus dipanasi untuk di makan lagi hari ini. Kedengaran terlalu ekstrem memang. Tapi itulah cara pandang saya dulu pada masakan padang. Namun setelah dipaksa oleh seorang teman untuk mencicipi sedikit saja rasa sambal ijo, saya langsung ketagihan.
Asam, pedas, nikmat. Selanjutnya, satu demi satu saya mencoba mencicipi beragam lauk yang ditawarkan. Dan pilihanpun jatuh pada rendang daging favorit saya. Meski teksturnya padat, namun dagingnya begitu empuk dan bumbunya terasa sekali meresap ke dalam tiap serat daging.
Selain sambal ijonya, hal lain yang membuat saya menyukai masakan padang adalah citarasanya yang hampir sama di berbagai daerah. Mau dimanapun, masakan padang tetap saja enak buat saya. Kalau saya bepergian ke luar kota, paling aman menurut saya adalah makan masakan padang. Pasti ditanggung puas. Kalau menu masakan lain, saya tidak menjamin. Pernah saya pergi ke Yogya dan tiba-tiba ingin mencoba memesan sepiring nasi rawon. Rasanya begitu aneh. Begitu juga dengan rujak cingur, nasi goreng, gado-gado, bahkan sampai nasi pecel.
Menurut saya, selain di kota Surabaya, tak ada tempat lain yang mampu menyajikan rasa yang nikmat dengan komposisi bumbu yang pas. Namun tidak dengan masakan padang. Mau makan di Yogya, Bali atau dimanapun, rasanya tetap aman. Itulah kenapa saya begitu menggilai makanan yang satu ini. Saya tak peduli lagi dengan perkataan apapun tentang masakan padang. Yang penting nikmat makan sambal ijo. Tomat ijo, cabe ijo....ijo-ijo sambal ijo..........
12 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
kekekek... sejak kecil dan terkenal susah makan sih hahahaha
Posting Komentar